TUGAS SOFT SKILL

                              KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.


Faktor penyebab konflik
  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
  • konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
  • konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
  • konflik antar atau tidak antar agama
  • konflik antar politik.

Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
  • meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
  • keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
  • perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
  • kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
  • dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
  • Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

Contoh konflik
• Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
• Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
• Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
• Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.

Cara Penanganan Konflik
Konflik yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate, menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap wilayah mewakili jenis konflik yang mengakar dan berkepanjangan. Karenanya, kesemuanya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi sebagaimana dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar responden 73,2% menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi serta 5,7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).


Sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Menu

Recent Post

TWITTER